Ekonomi Indonesia setiap periode
pemerintahan,orde lama, orde baru, reformasi
Perekonomian Indonesia Pada Masa Soekarno
Dalam era demokrasi terpimpin, Presiden soekarno menjalankan sistem Ekonomi
Terpimpin. Dalam sistem ekonomi ini, presiden secara langsung terlibat dan
mengatur perekonomian. Seluruh kegiatan perekonomian terpusat pada pemerintah
pusat. Akibatnya, kegiatan perekonomian di daerah menjadi terganggu dan
menurun. Dalam era ekonomi terpimpin idonesia berulang kali mengganti desain
ekonominya seiring dengan bergantinya kabinet yang sedang berkuasa.
Seperti negara-negara berkembang lain yang baru telepas dari kekuasaan
kolonial, kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di indonesia pada awal tahun
1950-an sebagian besar dibentuk oleh saling mempengaruhi masalah-masalah sosial
dan ekonomi yang objektif yang menghadapkan negara dan gagasan-gagasan ekonomi
dasar dari para perumus kebijaksanaan ekonomi yang utama. Dihadapkan pada tugas
berat mendamaikan kembali kebutuhan mendesak untuk merehabilitas ekonomi yang
mengalami kehancuran secara luas selama penduduk jepang dan revolusi, dengan
permintaan umum yang kuat untuk mengubah ekonomi kolonial menuju ekonomi
nasional. Ketika Indonesia menganut ekonomi terpimpin pemerintah menumpuh
kebijaksanaan yang berorientasi ke dalam’ ( Inward-loking police).
Kebijaksanaan ini dicirikan oleh kebijaksanaan “ Berdikari “ ( berdiri di atas
kaki sendiri ), dan kebijaksanaan yang sangat membatasi, dan kemudian menolak
sama sekali penanaman modal asing.
Selama kurun waktu ini perdagangan luar negeri banyak di kendalikan oleh
pemerintah Indonesia, baik karena pertimbangan jangka pendek tentang neraca
pembayaran (dengan membatasi impor untuk menekan devisit transaksi berjalan )
maupun karena pertimbangan non-ekonomi, yaitu pertimbangan nasionalisme ekonomi
yang dengan tegas melanjutkan ’pola ekonomi kolonial sebelum perang ‘ (preware
kolonial pattern) yang sangat mengandalkan diri pda sektor ekspor
komoditi-komoditi primer. Oleh karena ini terdapat aspirasi yang besar di antara
para pemimpin nasional Indonesia untuk mendorong industrialisasi sebagai jalan
jalan terbaik untuk memperluas landasan ekonomi indonesia yang pada waktu itu
tergantung pada sektor pertanian.
Walaupun pemerintah tidak bersabahat dengan negara kapitalis barat namun
kebijakan pemerintah yang membawa slogan Berdikari justru tetap mengandalkan
bantuan luar negeri, termasuk bantuan negara barat. Kebijakan pemerintah tidak
bisa dikatakan sebagai kebijaksanaan berorientasi ke dalam yang murni (pure
inward-loking policies). Bantuan luar negeri yang diperoleh digunakan untuk
membiayai proyek-proyek subtitusi impor yang direncanakan oleh pemerintah
Indonesia. Indonesia menjadi anti negara-negara barat namun berpaling ke
negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur dan RCC untuk memperoleh bantuan
luar negeri, untuk membeli peralatan perang.
Para perumus kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah untuk
sekurangnya menampung permintaan – permintaan mendesak nasionalisme ekonomi.
Sesuai dengan hasil perjanjian Indonesia – Belanda yang telah disepakati pada
Konferensi Meja Bundar di Deen Hag 1949, kepentingan-kepentingan Ekonomi
Belanda terus mendapat jaminan dari Indonesia, menyusul pengakuan kemerdekaan
Indonesia. dihadapkan pada situasi seperti ini, Indonesia membuat rumusan
kebijaksanaan agar dapat mengambil langkah-langkah penting untuk mengambil
bagian-bagian penting ekonomi di bawah pemilikan dan kontrol nasional. Tugas
yang dihadapi pemerintah baru pada tahun 1950-an adalah untuk menstabilkan dan
mengembangkan perekonomian yang didominasi oleh asing dan memiliki sebagian
besar oleh pihak swasta. Pada tahun 1952 diperkirakan bahwa 50% dari semua
produk konsumsi impor masih dikuasai 4 perusahaan besar belanda, dan 60 persen
ekspor oleh delapan perusahaan ( Van Zaden 2012:296 ). Selain itu, bank-bank
swasta sebagian besar berada di tangan tujuh bank asing, tiga diantaranya
adalah milik belanda.
Kabinet yang di pimpin Natsir dari Partai Masyumi didedikasikan untuk
mengubah situasi ini. Kabinet ini meraih dapuk kekuasaan ketika sesuatu yang
disebut boom korea (Korea Boom) tengah kuat-kuatnya berhembus. Perang korea
mengakibatkan munculnya permintaan ekspor yang meningkat yang menjadikan sumber
pendapatan yang baru untuk pemerintah indonesia. surplus yang diperoleh adalah
sepenuhnya merupakan hasil dari pendapatan ekspor yang tinggi, secara langsung
melalui bea cukai ekspor dan secara tidak langsung melalui efek pendapatan yang
meningkat dari pajak penghasilan dan bea impor. Jadi, surplus yang ada
merupakan hasil dari sebuah kejutan luar negeri bukan berasal dari kebijakan
fiskal yang telah di formulasikan. Dalam situasi tersebut kabinet sudah
bereaksi dengan meliberalkan impor sebagai cara untuk menjaga harga-harga
domestik tetap rendah, meningkatkan standar kosumsi, dan mendorong perkembangan
perusahaan-perusahaan bumi putera. Pada surplus kali itu Indonesia mampu
mendapatkan surplus mencapai 1.7 triliun. Surplus ini tidak bertahan lama. Pada
tahun 1952 indonesia kembali mengalami defisit anggaran mencapai 3 triliun.
Untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan kegiatan
ekonomi penting dibawah kontrol nasional pada tahun 1950 pemerintah
memperkenalkan Program benteng yang ditujukan untuk memberikan lisensi impor
untuk komoditas komoditas tertentu hanya kepada warga negara Indonesia. program
ini menimbulkan korupsi skala besar dan mengacaukan praktik politik secara
serius kaena setiap partai mencoba untuk memperoleh hasilnya dan hanya sedikit
efektik mendorong pertumbuhan kewirausahaan. Banyak pengusaha indonesia yang
menjual lisensinya kepada importir China dan Belada, dan pengusaha Indonesia
hanya berpura-pura tampil di muka berbisnis. Kelompok perusahaan tersebut biasa
di sebut dengan perusahaan ”Ali Baba “.
Volume ekspor komoditi-komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan
yang lumayan pada awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah
dicapai pada akhir tahun 1930-an, indonesia hampir tidak berpartisipasi daam
ekspansi perdagangan dunia yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an.
Bahkan selama kurun waktu 1953-1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh
dengan rata-rata satu persen dalam satu tahun. Merosotnya peranan perdagangan
luar negeri selama awal tahun 1950-an terutama disebabkan oleh karena peralatan
produksi industri-industri ekspor Indonesia telah mengalami banyak kerusakan.
Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak ingin di bantu
oleh negara Barat.
Negara baru seperti indonesia menghadapi persoalan besar dalam pemeliharaan
infrastruktur, dibutuhkan lebih banyak investasi baru, sementara berambisi
besar dalam hal pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan program reformasi
kesejahteraan lainnya. Satu-satunya item dalam anggran yang memungkinkan untuk
di pangkas adalah pengeluaran Militer. Seperti negara baru merdeka lainnya
setelah melalui perjuangan kemerdekaan, pengeluaran di bidang militer meningkat
luar biasa, namun suasana yang menjadi tenang kembali pastinya kemungkinan
untuk mengurangi pembiyayaan operasi militer.hal ini dilakukan pada saat tahun
1951-1955, kemudian setelah itu terdapat peningkatak kembali.
Kebijakan-kebijakan untk menaikkan kembali anggaran militer tersebut tidak
membuat palemen dan partai politik yang berkuasa menjadi sangat populer di
kalangan militer, dan ketegangan antara mereka dan kelompok mapan politis
seringkali dipicu oleh Soekarno.
Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota-kota besar sehingga engakibatkan banyaknya Urbanisasi yang terjadi. Kota-kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi.
Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota-kota besar sehingga engakibatkan banyaknya Urbanisasi yang terjadi. Kota-kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan baru, membuat aktifitas ekspor-ekspor
utama berasal dari wilayah pinggiran sepeti sumatera, kalimantan, dan
pulau-pulau luar lainnya yang memiliki pendapatan seperti minyak, karet, kopra,
timah, tembakau, yang semuanya menjadi di terpasung. Hal yang diakibatkan oleh
situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar gelap. Apalagi jarak dengan
singapura yang sangat dekat membuat para pedagang lebih mudah menyelundupkan
produk–produk mereka keluar Indonesia dan kembali dengan barang konsumsi impor
ilegal. Dengan mejual produk-produk mereka ke luar negeri para pedagang mendapatkan
harga barang 20 kali lipat daripada di jual di jakarta.
Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap bersatu, “ Demokrasi terpimpin “ dan prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi terpimpin membawa indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.
Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap bersatu, “ Demokrasi terpimpin “ dan prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi terpimpin membawa indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.
Perekonomian Pada Masa
Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Setlah itu, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah merdeka,
keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk; ekonomi nasional boleh dikatakan
mengalami stagflasi. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan
pemerintah sangat besar; kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor
industri manufaktur praktis terhenti; tingkat inflasi sangat tinggi, hingga
mencapai lebih dari 500% menjelang akhir periode orde lama. Semua ini
disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang penting diantaranya adalah
pendudukan Jepang, Perang Dunia II , Perang Revolusi, dan Manajemen Ekonomi
Makro yang sangat jelek.
Dapat dikatakan bahwa Indoneisa pernah mengalami sistem politik
yang sangat demokratis, yakni pada periode 1949-1956. Akan tetapi, sejarah
Indonesia menunjukan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata
menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu
banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi
konflik antarpartai politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga
tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu kabinet yang solid
yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik
demokrasi itu, tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya
sekitar 2 tahun saja. Selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih
peninggalan zaman kolonialisasi.
Sektor formal/modern, seperti pertambangan, distribusi,
transportasi, bank, dan pertanian komersi, yang memiliki konstribusi lebis
besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau produk
domestik bruto (PDB) didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut
relatif lebih padat kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi
oleh pengusaha pribumi dan beralokasi di kota-kota besar , seperti Jakarta dan
Surabaya.
Keadaan ekonomi di Indonesia, terutama setelah dilakukan
nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air, termasuk
perusahaa-perusahaan milik Belanda, menjadi lebih buruk dibanding keadaan
ekonomi pada masa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan laju
inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahaan Belanda
Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat
inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan
komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat
efeisensi yang tinggi di sektor pertanian, dan nilai mata uang yang stabil.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung,
buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga
disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang
dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga
kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk
membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan
kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan
yang baik. Menurut pengamatan Higgins, sejak kabinet pertama dibentuk setelah
merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi
dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unfikasi, dan rekonstruksi. Akan
tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit
lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau
bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang tidak pernah terlaksana
dengan baik.
Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru
Inflasi pada
tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh jumlah
penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang
besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran
singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh
masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi titik balik.
Awal masa
orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru
berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan
dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai ayng berpengaruh terhadap
bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun
1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang
beberapa REPELITA:
REPELITA I
(1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan
yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang
diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama
untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan
kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5%
per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi yang
dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta
peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III.
Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong
pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah
mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan
industri bertahap.
Perekonomian Pada Masa Era Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan,
namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama
32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha
dan investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap
kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian
nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan
rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum;
hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI
di dalam politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana
Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain
itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi. Di bidang
ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar
antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama
setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada
level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era
pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi
Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan
krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
- Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
- Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
- Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
- Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
- Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
- Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
- Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan
presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai
5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga
rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia
keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan
mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku
bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya
semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan
dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan
reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden
tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam
akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi
dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam
negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang
bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh,
konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi
demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka
terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik
semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman
Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23
tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama
menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN
2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut
mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia,
padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club
(negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan
kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang
terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian
besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat
mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan
pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama
pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia.
Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF.
Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan
melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya,
kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih
buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat
internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah
buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi
makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan
sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors)
menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002
ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun
sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan
yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi
hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung
menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya
terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi
fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga.
Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens,
termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang
hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan
hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa
indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30
Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang
negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot
hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka
pendek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar